MODERASI BERAGAMA: TOLERANSI ANTARA MUHAMMADIYAH DAN NAHDLATUL ULAMA

 MODERASI BERAGAMA: TOLERANSI ANTARA MUHAMMADIYAH DAN NAHDLATUL ULAMA (Farah Fadhilah) 


Indonesia adalah negara kepulauan dimana umat muslim mayoritas dan penduduk terbanyak di dunia. Moderasi islam adalah jalan tengah ditengah-tengah keberagaman yang beragam. Islam yang moderat adalah paham keagamaan yang relevan dalam konteks keberagaman dalam segala aspek baik agama, adat istiadat, suku dan bangsa itu sendiri. Tidak salah lagi, ragam pemahaman ini menjadi fakta sejarah dalam Islam. Keragaman tersebut disebabkan dialektika antara teks dan realitas itu sendiri, dan cara pandang terhadap posisi akal dan wahyu dalam menyelesaikan masalah. Dalam moderasi beragama, Islam lebih mengacu pada sikap tawazun dalam menjalani ajaran tanpa ekstremisme. Di Indonesia terdapat dua organisasi besar yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama yang memiliki peran penting dalam moderasi beragama dan toleransi.

Muhammadiyah adalah organisasi Islam yang didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan pada 1912 di Yogyakarta. K.H Ahmad Dahlan berfokus pada ajaran pembaharuan dan modernisasi ajaran Islam sebagai alat perjuangan dan dakwah untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar (Al-Imran:104) dan beliau mengajarkan surah Al-Maun dimana surah ini sumber gerakan sosial praktis untuk mewujudkan gerakan tauhid. Konsep Moderasi Islam dalam Muhammadiyah merujuk pada surah Al-Baqarah:143 pada makna umat yang adil, tentu dalam koridor luas pemaknaannya (ummatan washatan). Menurut Haidar Nashir konsep teologis al-‘Ashr bukan terkait waktu atau durasi, melainkan keadaan yang melahirkan kemodernan. Ini membuktikan bahwa keagamaan dalam konsep umat yang moderat tidak hanya sebatas ritual transendental semata. Dalam moderasi beragama, Muhammadiyah selalu mencari jalan tengah dalam persoalan, seperti persoalan hisab dan ruqyah. Perbedaan dalam bentuk apapun dengan sesama umat beragama diselesaikan lewat musyawarah yang menjunjung tinggi toleransi dan keadilan sehingga bisa diterima kedua belah pihak. 

Menurut Quraisy Shihab, keberagamaan umat Islam adalah penerapan sikap moderat dengan melarang sikap ifrath dan tafrith (Khalil Nurul Islam, 2020). Menurut Haidar Nashir, ciri wasath Muhammadiyah terletak pada sikap tasawuth dan tawazun. Dalam hal ini, Menurut Abdul Mu’ti bahwa wasath yaitu moderat dalam pemahaman, bersikap, dan mengambil kebijakan. Moderaasi keberagamaan telah menjadi konsistensi Muhammadiyah, meski semangat pemberantasan Tahayul, Bid’ah, dan Khurafat (TBC) terhalang dengan masyarakat Islam tradisionalis yang intoleran terhadap kemodernan dan pengetahuan umum. Seiring berkembangnya peradaban, masyarakat menjadi terpelajar dan terbuka wawasannya terhadap keilmuan modern. Hal ini sesuai dengan konsep teologis dakwah Muhammadiyah yang berawal dari teologis Ali Imron (gerakan dakwah), Al-Ma’un (pribadi-sosial), dan Al-Ashr (purifikasidinamisasi). 

Nahdlatul Ulama adalah organisasi Islam yang didirikan oleh K.H Hasyim Asy’ari pada 1926 di Surabaya. Dalam kitab risalah Ahlusunnah Wal Jama’ah bahwa pondasi pertama dalam moderasi beragama dibangun pertama adalah akidah yang merujuk pada Imam Abdul Hasan al-Asy’ari dan Imam alMaturidi. Menurut Anwar 2019, Hal ini disebabkan karena persoalan akidah tidak mudah karena kalau tidak hati-hati bisa terjebak kepada ekstremisme dan radikalisme yang merusak keharmonisan beragama. Tentunya moderasi Nahdlatul Ulama tidak lepas dari akidah Aswaja. Ada tiga kunci penting dalam menggambarkan cara moderasi beragama kaum Nahdliyin menurut K.H Ahmad Siddiq, yaitu tasawuth (moderat), tasamuh (toleran), dan tawazun. Dimana disini tasawuth ditekankan kesederhanaan dan kemoderatan dalam beragama, tasamuh menekankan toleransi dan menghormati perbedaan, dan tawazun artinya keseimbangan antara kepentingan agama dan duniawi. 

Perbedaan dalam moderasi beragama tidak berarti bahwa keduanya bertentangan. Namun sebaliknya, justru perbedaan ini memperkaya dinamika keberagamaan di Indonesia. Dua organisasi ini sangat melengkapi dalam membangun umat yang moderat, dalam konteks ini Muhammadiyah menggunakan pendekatan rasionalis-modernis sedangkan Nahdlatul Ulama dengan pendekatan tradisionalis yang inklusif dimana keduanya menciptakan kerukunan umat Islam. Moderasi yang diusung dua organisasi ini sejalan dengan prinsip Islam yang mengajarkan keseimbangan dalam kehidupan. Dalam kehidupan yang konkret ini tentu sudah banyak kasus yang melibatkan dua organisasi Islam ini salah satunya yang di awal sudah disinggung bahwa perbedaan hisab dan rukyah saat penentuan awal ramadhan dan hari raya. Dalam perspektif Muhammadiyah, penggunaan hisab ini lebih akurat dan mengurangi ketidakpastian yang muncul pada perbedaan pandangan dalam pengamatan hilal. Sebaliknya, NU lebih mengutamakan metode rukyah dimana rukyah mengedepankan kehadiran hilal sebagai tanda pergantian bulan. Meskipun terjadi perbedaan antara dua organisasi, masyarakat tetap menjaga sikap toleransi dan menjaga Ukhuwah Islamiyah. 


 REFERENSI 

https://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/intizar/article/view/5640/3010 

https://journal.umg.ac.id/index.php/tamaddun/article/view/5887/3241

https://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/al-fikra/article/view/16692/8152

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

FANTASI BERDARAH: DUNIA TAK LAGI AMAN, SIAPA YANG KAU LINDUNGI?