ANALISIS TERHADAP TRADISI DANDANGAN DI KUDUS (NU ONLINE)

 ANALISIS TERHADAP TRADISI DANDANGAN DI KUDUS 

 Pembahasan Video Channel NU Online 

  Tradisi Dandangan di Kudus dapat dipandang sebagai jenis komunikasi massa tradisional yang telah ada sejak lama, bahkan sebelum hadirnya televisi, radio, atau internet. Saat itu, suara bedug dari Menara Kudus tidak hanya menandakan bahwa Ramadan akan segera datang, tetapi juga menjadi cara masyarakat untuk saling menginformasikan. Ini merupakan cara berkomunikasi yang memanfaatkan simbol dan tradisi, serta mampu menyatukan komunitas dalam satu pemahaman yang sama. 

 Dalam teori komunikasi, fenomena seperti ini dikenal sebagai komunikasi ritual. Dengan kata lain, komunikasi bukan hanya untuk menyampaikan informasi, melainkan juga membangun kebersamaan dan identitas suatu masyarakat. Namun, seiring berjalannya waktu, peran Dandangan mulai mengalami perubahan. Saat ini, berita mengenai kedatangan Ramadan dapat diperoleh lebih cepat melalui media sosial dan berita daring. Meskipun demikian, Dandangan tetap memiliki keunggulan, yaitu pada aspek emosional dan simboliknya. Suara bedug, lampu beraneka warna, hidangan khas, dan keramaian pasar malam adalah bentuk komunikasi tanpa kata yang langsung dimengerti oleh masyarakat karena telah menjadi bagian dari budaya mereka. 

 Jika ditinjau dari ilmu tanda atau semiotika, dandangan merupakan “teks budaya” yang kaya akan makna. Stuart Hall menyatakan bahwa pemahaman individu terhadap pesan dipengaruhi oleh budaya dan konteks latar belakang mereka. Oleh karena itu, meskipun hanya suara bedug atau pasar malam, warga Kudus menyadari bahwa itu menandakan Ramadan akan segera tiba. Sayangnya, saat ini Dandangan sering kali hanya dipandang sebagai acara wisata atau hiburan tahunan. Nilai religius dan makna sejatinya mulai memudar karena lebih sering dikemas untuk menarik pengunjung dan keuntungan finansial. 

 Jika kita merujuk pada teori komunikasi kritis yang diungkapkan oleh Jürgen Habermas, Dandangan sebelumnya dapat berfungsi sebagai ruang publik lokasi di mana masyarakat berkumpul, bertukar cerita, dan memperkuat kebersamaan. Namun sekarang, tempat itu mulai dikuasai oleh akal bisnis. Media dan iklan kini lebih menitikberatkan pada penampilan Dandangan, bukan pada arti sesungguhnya. Sebagai akibatnya, tradisi ini dapat kehilangan makna pentingnya dan hanya menjadi pertunjukan yang dengan cepat terlupakan. 

 Pandangan mahasiswa komunikasi, kita tidak boleh hanya diam melihat perubahan ini. Kita perlu melihat kembali Dandangan bukan hanya sebagai budaya lokal, tapi juga sebagai bentuk komunikasi masyarakat yang kaya dan bermakna. Kita juga perlu mengkritisi cara media menampilkan tradisi ini, dan mencari cara agar nilai spiritual dan kebersamaannya tetap terjaga, walau zaman sudah berubah. Jika tidak, Dandangan hanya akan menjadi keramaian tanpa makna, dan komunikasi yang tidak lagi menyentuh hati. 

 Sebagai media komunikasi tradisional, dandangan memiliki posisi yang sangat signifikan dalam menyampaikan informasi kepada publik, meskipun tidak memanfaatkan teknologi modern seperti televisi atau internet. Dandangan menyampaikan pesan melalui simbol-simbol budaya yang bermakna, seperti suara bedug dari menara, keramaian pasar, pertunjukan seni, dan aktivitas sosial masyarakat. Fungsi utama media massa sebagai alat informasi, pendidikan, hiburan, dan pemersatu masyarakat semuanya terlihat dalam tradisi ini. Suara bedug menjadi penanda datangnya bulan Ramadan, kegiatan bazar menawarkan hiburan rakyat, nilai-nilai budaya dan agama diwariskan dari generasi ke generasi sebagai bentuk pendidikan, serta kebersamaan masyarakat dalam menyambut tradisi yang menciptakan integrasi sosial. Ini menunjukkan bahwa komunikasi massa tidak selalu memerlukan teknologi canggih, tetapi dapat juga wujud dalam bentuk budaya dan simbol yang dihayati secara bersama oleh masyarakat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MODERASI BERAGAMA: TOLERANSI ANTARA MUHAMMADIYAH DAN NAHDLATUL ULAMA

FANTASI BERDARAH: DUNIA TAK LAGI AMAN, SIAPA YANG KAU LINDUNGI?